Evaluasi Program MBG: Krisis Gizi Anak dan Dampak Ekonomi di Indonesia
Dalam sebuah pernyataan yang disampaikan oleh anggota DPR RI pada awal video ENN Indonesia yang dipandu oleh Sudirman Mattaliu, ditegaskan bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG) harus segera dievaluasi secara menyeluruh. Menurut anggota DPR tersebut:
"Hentikan program MBG sekarang juga. Ini bukan kesalahan teknis, tapi kesalahan sistem di BGN, kejadiannya menyebar ke beberapa daerah. Lakukan evaluasi total sistem tata kelola MBG yang dikendalikan oleh BGN. Utamakan keselamatan anak di atas ambisi politik dan target program."
Krisis Gizi Anak dalam Program MBG
Belum genap setahun program ini berjalan, statistik mencatat sekitar 200 anak mengalami keracunan, walaupun pemerintah mengklaim hanya 0,005% dari total anak yang menerima makanan bergizi yang terdampak. Angka ini mungkin terlihat kecil secara persentase, tetapi setiap kasus anak keracunan merupakan alarm serius. Anak-anak yang sampai ke rumah sakit dan mengalami kejang menjadi bukti nyata bahwa sistem pengawasan program ini belum efektif.
MBG: Program Makan Termahal di Dunia
Anggaran MBG tahun 2026 tercatat Rp35 triliun, setara gabungan anggaran Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan Kementerian Pertanian. Secara persentase terhadap GDP, MBG menghabiskan 1,5% dari PDB Indonesia, jauh di atas rata-rata negara lain yang hanya mengalokasikan 0,2–0,4% GDP untuk program makan gratis. Ironisnya, pelaksanaannya selama 8 bulan justru kacau, dengan 4.000 anak keracunan di berbagai daerah.
Beban anggaran yang besar ini juga berdampak pada ekonomi daerah. Menurut anggota DPR tersebut, pengurangan alokasi APBN untuk transfer ke daerah membuat pemerintah daerah mencari cara menutup defisit, salah satunya dengan menaikkan pajak rakyat. Sehingga, program ini bukan hanya berdampak pada anak-anak, tetapi juga memengaruhi stabilitas ekonomi lokal dan nasional.
Masalah Pemerataan dan Efektivitas Program
Pendapat Adinda Atsika Amara menyoroti keborosan MBG. Misalnya, satu sekolah mungkin hanya memiliki 60–65% siswa stunting, sementara 30–35% lainnya sudah bergizi. Memberikan makan bergizi gratis secara seragam untuk seluruh siswa berarti sebagian anggaran digunakan untuk anak-anak yang sebenarnya sudah cukup gizi. Selain itu, fokus MBG lebih pada kota dibanding desa, sehingga ketimpangan sosial masih terjadi.
Beberapa anak dari keluarga mampu, bahkan pejabat seperti anak camat atau walikota, turut menerima makanan bergizi gratis, yang menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas penggunaan anggaran.
Solusi Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi
Dedi Mulyadi menyarankan pemberian uang langsung kepada orang tua siswa senilai Rp15.000 per anak, agar mereka menyiapkan makanan di rumah. Dengan metode ini:
-
Kualitas gizi tetap terjaga, karena orang tua bisa menyesuaikan menu.
-
Pemerataan ekonomi lebih merata, karena orang tua akan membeli bahan makanan di toko sembako lokal atau pasar terdekat.
-
Mengurangi risiko keracunan, karena makanan tidak harus melalui rantai distribusi panjang dan penyimpanan di suhu panas yang meningkatkan risiko kontaminasi.
Menurut Dedi, metode ini juga membangun karakter dan kebiasaan anak, misalnya mencuci piring sendiri dan menghargai makanan yang mereka makan.
Pendapat Pak Felix tentang Logistik MBG
Pak Felix menambahkan bahwa kasus keracunan MBG bukan karena makanan beracun, tetapi kontaminasi bakteri dan virus akibat logistik yang panjang. Makanan disiapkan di dapur sentral jauh sebelum jam makan dan disimpan di suhu tropis yang panas dan lembab. Akibatnya, risiko kontaminasi meningkat. Solusinya menurut Felix: hidupkan dapur di sekolah masing-masing, sehingga makanan lebih segar dan cepat sampai ke siswa.
Kritik pada Istilah “Gratis”
Anggota DPR juga menekankan bahwa istilah “gratis” dalam MBG menimbulkan mindset yang salah pada masyarakat dan siswa. Sebenarnya, semua biaya MBG berasal dari pajak rakyat, sehingga tidak ada yang benar-benar gratis. Anak-anak cenderung kurang menghargai makanan yang diberikan secara gratis, sehingga banyak makanan terbuang sia-sia. Contohnya, sisa telur, tempe, ayam, dan ikan di kantin sekolah yang setiap hari menumpuk dan tidak dimakan.
Kesimpulan dan Harapan
Program MBG memiliki tujuan mulia: memenuhi kebutuhan gizi anak Indonesia dan menekan angka stunting. Namun, pelaksanaannya saat ini belum efektif, banyak makanan terbuang, risiko keracunan tinggi, dan alokasi anggaran tidak tepat sasaran. Solusi dari Dedi Mulyadi dan Pak Felix menunjukkan bahwa pendekatan memberikan uang pada orang tua atau menghidupkan dapur sekolah lebih logis, aman, dan bisa mendorong pemerataan ekonomi lokal.
Sebagai generasi emas Indonesia, anak-anak yang saat ini sekolah akan menjadi pemimpin masa depan. Karena itu, efektivitas program MBG harus dikaji ulang, mulai dari distribusi, pengawasan, hingga metode pelaksanaan, agar dana publik benar-benar bermanfaat dan anak-anak Indonesia tumbuh sehat, cerdas, dan terhindar dari risiko keracunan makanan.
Berikut Video Lengkapnya :