Halaman

    Social Items

Krisis Integritas Organisasi Mahasiswa di Era Aksi Instan

Krisis Integritas Organisasi Mahasiswa di Era Aksi Instan

Opini | Independent News | 29 Oktober 2025

Kita hidup di zaman yang serba cepat — di mana keikhlasan kalah langkah dari kecepatan jempol, dan idealisme sering tertinggal di antara notifikasi gawai. Di kampus-kampus, gema orasi yang dahulu mengguncang istana kini terdengar seperti gema ruang kosong: lantang di awal, redup di makna.

Dulu, organisasi mahasiswa adalah rahim yang melahirkan tokoh bangsa — Soekarno muda menulis manifesto dari kamar asrama, Hatta menenun pikiran tentang kedaulatan rakyat di negeri orang. Kini, banyak ruang diskusi digantikan oleh ruang instastory; riset digantikan oleh trending topic; perjuangan digantikan oleh eksistensi.

Integritas, kata yang dahulu sederhana namun berat maknanya, kini terdengar seperti jargon seminar. Padahal, di balik setiap pemimpin besar, selalu ada masa di mana ia menolak kompromi kecil yang bisa menggerus nurani. Krisis hari ini bukan karena mahasiswa kehilangan suara — tapi karena mereka kehilangan arah ke mana suara itu hendak dibawa.

Kita melihat mahasiswa turun ke jalan, namun lupa turun ke hati. Kita mendengar teriakan “reformasi!”, tapi tak lagi mendengar bisikan “introspeksi”. Lembaga kemahasiswaan berubah menjadi panggung, bukan lagi laboratorium gagasan. Surat keputusan lebih dicari daripada surat kesadaran.

"Menjadi mahasiswa sejati adalah menjadi penulis sejarah — bukan pengikut algoritma. Menjadi aktivis bukan berarti memaki, tapi mengabdi; bukan berlomba tampil, tapi bertahan tegak di tengah godaan pragmatisme."

Kini, kita membutuhkan sejenis kelahiran kembali — bukan kelahiran aktivis baru, melainkan kelahiran kembali kesadaran lama: bahwa integritas tidak pernah lahir dari teriakan, tapi dari kesunyian yang jujur. Bahwa perjuangan tidak dimulai dari poster, tapi dari pikiran yang jernih dan hati yang bersih.

Biarlah generasi ini kembali menulis, membaca, merenung — sebelum berteriak. Sebab sejarah tidak mencatat siapa yang paling keras bersuara, melainkan siapa yang paling konsisten menjaga nilai.

Dan ketika integritas kembali menjadi mata air, organisasi mahasiswa akan kembali menemukan maknanya: bukan sekadar forum, melainkan nurani bangsa yang hidup. Saat itulah, kampus bukan hanya tempat menimba ilmu, tapi juga tempat bangsa bercermin.

✍️ Keyboard Laptop (nickname)
Sastrawan dan Pengamat Gerakan Mahasiswa
Hak cipta © 2025 Independent News | Diperkenankan dikutip dengan mencantumkan sumber

Krisis Integritas Organisasi Mahasiswa di Era Aksi Instan

Krisis Integritas Organisasi Mahasiswa di Era Aksi Instan

Krisis Integritas Organisasi Mahasiswa di Era Aksi Instan

Opini | Independent News | 29 Oktober 2025

Kita hidup di zaman yang serba cepat — di mana keikhlasan kalah langkah dari kecepatan jempol, dan idealisme sering tertinggal di antara notifikasi gawai. Di kampus-kampus, gema orasi yang dahulu mengguncang istana kini terdengar seperti gema ruang kosong: lantang di awal, redup di makna.

Dulu, organisasi mahasiswa adalah rahim yang melahirkan tokoh bangsa — Soekarno muda menulis manifesto dari kamar asrama, Hatta menenun pikiran tentang kedaulatan rakyat di negeri orang. Kini, banyak ruang diskusi digantikan oleh ruang instastory; riset digantikan oleh trending topic; perjuangan digantikan oleh eksistensi.

Integritas, kata yang dahulu sederhana namun berat maknanya, kini terdengar seperti jargon seminar. Padahal, di balik setiap pemimpin besar, selalu ada masa di mana ia menolak kompromi kecil yang bisa menggerus nurani. Krisis hari ini bukan karena mahasiswa kehilangan suara — tapi karena mereka kehilangan arah ke mana suara itu hendak dibawa.

Kita melihat mahasiswa turun ke jalan, namun lupa turun ke hati. Kita mendengar teriakan “reformasi!”, tapi tak lagi mendengar bisikan “introspeksi”. Lembaga kemahasiswaan berubah menjadi panggung, bukan lagi laboratorium gagasan. Surat keputusan lebih dicari daripada surat kesadaran.

"Menjadi mahasiswa sejati adalah menjadi penulis sejarah — bukan pengikut algoritma. Menjadi aktivis bukan berarti memaki, tapi mengabdi; bukan berlomba tampil, tapi bertahan tegak di tengah godaan pragmatisme."

Kini, kita membutuhkan sejenis kelahiran kembali — bukan kelahiran aktivis baru, melainkan kelahiran kembali kesadaran lama: bahwa integritas tidak pernah lahir dari teriakan, tapi dari kesunyian yang jujur. Bahwa perjuangan tidak dimulai dari poster, tapi dari pikiran yang jernih dan hati yang bersih.

Biarlah generasi ini kembali menulis, membaca, merenung — sebelum berteriak. Sebab sejarah tidak mencatat siapa yang paling keras bersuara, melainkan siapa yang paling konsisten menjaga nilai.

Dan ketika integritas kembali menjadi mata air, organisasi mahasiswa akan kembali menemukan maknanya: bukan sekadar forum, melainkan nurani bangsa yang hidup. Saat itulah, kampus bukan hanya tempat menimba ilmu, tapi juga tempat bangsa bercermin.

✍️ Keyboard Laptop (nickname)
Sastrawan dan Pengamat Gerakan Mahasiswa
Hak cipta © 2025 Independent News | Diperkenankan dikutip dengan mencantumkan sumber