INDEPENDENT.WEB.ID – Jakarta. Mabes Polri kembali menindak tegas pelaku penyebaran berita bohong terkait pemilu. Dua orang ditangkap aparat karena diduga menyebarkan isu hoaks mengenai “server KPU sudah di-setting”. Salah satu yang ditangkap bernama Eko Widodo, sosok yang jejak digitalnya tidak asing di jagat media sosial.
Jejak Digital Lama: Pernah Ditangkap, Kini Terulang Lagi
Dari rekam jejak digital, Eko Widodo bukan kali ini saja berurusan dengan polisi. Ia pernah ditangkap dan diadili dalam kasus serupa, yakni penyebaran hoaks tentang hasil Pilpres. Kala itu, ia menulis di Twitter bahwa hasil pemilihan presiden sudah diatur dengan perolehan suara “57%”.
Ironisnya, pada masa kampanye presiden lalu, Eko dikenal sebagai pendukung Prabowo Subianto. Namun, setelah Prabowo resmi menjadi Presiden, muncul dugaan bahwa Eko tidak mendapat posisi atau jabatan apapun. Kondisi ini disebut memunculkan kekecewaan pribadi yang berujung pada serangan-serangan verbal terhadap tokoh lain, termasuk Kang Dedi Mulyadi yang kini bernaung di Partai Gerindra.
Serangan kepada Kang Dedi Mulyadi
Dalam beberapa unggahannya, Eko tak segan menyerang KDM dengan narasi kasar dan tudingan tidak berdasar. Bahkan, ia sering menyindir kehidupan pribadi sang gubernur. Misalnya, saat Gubernur DKI Jakarta melantik istri sebagai Bunda PAUD, Eko melontarkan sindiran bernada merendahkan dengan mempertanyakan posisi Bunda PAUD di Jawa Barat.
Sindiran itu memicu kemarahan sebagian masyarakat Jawa Barat, karena dianggap bukan hanya menyerang kebijakan, tetapi juga kehidupan pribadi seorang pejabat publik. Kritik yang seharusnya konstruktif justru bergeser menjadi serangan personal.
Respons Bijak KDM
Menanggapi serangan tersebut, Kang Dedi Mulyadi pernah memberi jawaban singkat dan tenang. “Terima kasih atas kritiknya. Tapi lain kali gunakanlah narasi yang berdasar hukum, bukan hoaks,” ujarnya.
KDM juga mengingatkan bahwa hoaks bisa menimbulkan dosa sosial, memecah belah masyarakat, dan berpotensi memicu polemik panjang. Ia menekankan pentingnya kritik yang sehat dan edukatif, bukan tuduhan kosong.
“Kalau ingin mengkritik, bacalah putusan Mahkamah Agung. Semua lengkap di sana. Jangan menyerang dengan berita bohong,” tambahnya.
Reaksi Publik
Meski KDM memilih tidak memproses hukum Eko Widodo, sejumlah warga Jawa Barat menunjukkan reaksi keras. Beberapa bahkan menantang Eko secara terbuka untuk berhenti “ngoceh” di media sosial dan menyelesaikan perbedaan secara gentleman.
Sebagian masyarakat menilai komentar-komentar Eko sudah melewati batas, mulai dari hoaks pemilu hingga serangan personal terhadap KDM. Tak sedikit yang menduga bahwa Eko sekadar mencari perhatian dengan narasi provokatif tanpa fakta yang jelas.
Potensi Jerat Hukum
Dari sisi hukum, polisi menegaskan Eko Widodo bisa dijerat dengan pasal UU ITE maupun pasal dalam UU No. 1 Tahun 1946 tentang penyebaran berita bohong. Ancaman pidana pun tidak main-main, karena hoaks dianggap mengganggu ketertiban umum dan merusak kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara.
Dengan penangkapan ini, publik kembali diingatkan bahwa media sosial bukan ruang bebas tanpa batas. Kritik sah dan dilindungi undang-undang, namun penyebaran berita bohong bisa berujung pidana.
Penutup
Kasus Eko Widodo menjadi pelajaran penting di era digital. Kebebasan berekspresi harus diimbangi tanggung jawab, apalagi jika menyangkut isu publik seperti pemilu. Serangan personal, apalagi tanpa dasar hukum, hanya akan memperkeruh suasana politik dan merugikan masyarakat luas.
Polri sendiri menegaskan komitmennya untuk terus menindak tegas siapa pun yang terbukti menyebarkan hoaks, agar ruang publik tetap sehat dan kondusif.